Sejarah Aceh
Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Perancis: Achen atau Acheh, bahasa Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa Tionghoa: A-tsi atau Ache) yang sekarang dikenal sebagai provinsi Aceh memiliki akar budaya bahasa dari keluarga bahasa Monk Khmer proto bahasa Melayu dengan pembagian daerah bahasa lain seperti bagian selatan menggunakan bahasa Aneuk Jame sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur menggunakan bahasa Gayo untuk bagian tenggara menggunakan bahasa Alas seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian dengan kelompok etnis Klut yang berada bagian selatan menggunakan bahasa Klut sedangkan di Simeulue menggunakan bahasa Simeulue akan tetapi masing-masing bahasa setempat tersebut dapat dibagi pula menjadi dialek. Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil yang berada bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil. sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari hikayat Aceh, hikayat rajah Aceh dan hikayat prang sabii yang berasal dari sejarah narasi yang kemudian umumnya ditulis dalam naskah-naskah aksara Jawi (Jawoe). Namun sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang berdasarkan pinutur ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat Perang Sabil mempunyai banyak versi dan satu dengan yang lain terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun 1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda.
Bahasa Mon-Khmer:
Bahasa Brao, Bahasa Kreung, Bahasa Tampuan, Bahasa Bunong dan Bahasa Kui.
Paleografi bahasa Mon-Khmer.
Awal Aceh dalam sumber antropologi disebutkan bahwa asal-usul Aceh berasal dari suku Mantir (atau dalam bahasa Aceh: Mantee) yang mempunyai keterkaitan dengan Mantera di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa Mon Khmer (Monk Khmer). Menurut sumber sejarah narasi lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh Besar tempat kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas dan Mantir kemudian menyebar ke seluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain.
Malik Al Saleh
Sebelum Dinasti Usmaniyah di Turki berdiri pada tahun 699 H-1341 H atau bersamaan dgn tahun 1385 M-1923 M ternyata nun jauh di belahan dunia sebelah timur di dunia bagian Asia telah muncul Kerajaan Islam Samudera-Pasai yg berada di wilayah Aceh yg didirikan oleh Meurah Silu (Meurah berarti Maharaja dalam bahasa Aceh) yg segera berganti nama setelah masuk Islam dgn nama Malik al-Saleh yg meninggal pada tahun 1297. Dimana pengganti tak jelas namun pada tahun 1345 Samudera-Pasai diperintah oleh Malik Al Zahir cucu daripada Malik al-Saleh.
Samudera Pasai - Lahir Kerajaan Islam Samudera Pasai
Kedaulatan kerajaan Sriwijaya (684 M- 1377 M) dibawah dinasti Syailendra dgn raja yg pertama Balaputera Dewa yg berpusat di Palembang Sumatera Selatan makin kuat dan daerah semakin meluas setelah daerah kerajaan Melayu; Tulang Bawang Pulau Bangka Jambi Genting Kra dan daerah Jawa Barat didudukinya. Ketika Sriwijaya sedang mencapai puncak kekuatan ternyata mengundang raja Rajendra Chola dari Chola di India selatan tak bisa menahan nafsu serakah maka pada tahun 1023 lahirlah serangan dari raja India selatan ini kepada Sriwijaya.
Dalam pertempuran dinasti Syailendra tak mampu menahan serangan tentara India selatan ini raja Sriwijaya ditawan dan tentara Chola dari India selatan ini kembali ke negerinya. Walaupun Sriwijaya bisa dilumpuhkan tetapi tetap kerajaan Buddha ini hidup sampai pada tahun 1377. Disaat-saat Sriwijaya ini lemah muncullah kerajaan Islam Samudera-Pasai di Aceh dgn raja Malik Al Saleh dan diteruskan oleh cucu Malik Al Zahir.
Politik Samudera Pasai bertentangan dgn Politik Gajah Mada
Gajah Mada yg diangkat sebagai patih di Kahuripan (1319-1321) oleh raja Jayanegara dari Majapahit. Dan pada tahun 1331 naik pangkat Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit yg diangkat oleh raja Tribuana Tunggadewi.
Ketika pelantikan Gajah Mada menjadi mahapatih Majapahit inilah keluar ucapan yg disebut dgn sumpah palapa yg berisikan "dia tak akan menikmati palapa sebelum seluruh Nusantara berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit". Ternyata dgn dasar sumpah palapa inilah Gajah Mada merasa tak senang ketika mendengar dan melihat bahwa Samudera Pasai di Aceh makin berkembang dan maju. Pada tahun 1350 Majapahit ingin menggempur Samudera Pasai tetapi Majapahit tak pernah mencapai kerajaan Samudra Pasai krn di hadang askar Sriwijaya. Selama 27 tahun Majapahit dendam terhadap kerajaan Sriwijaya dan kemudian pada tahun 1377 giliran Sriwijaya digempur sehingga habislah riwayat Sriwijaya sebagai negara Budha yg berpusat di Palembang ini.
Sultan Iskandar Muda
Aceh merupakan negeri yg amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yg tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau Sumatera Timur hingga Perak di semenanjung Malaysia.Aceh merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yg memiliki tradisi militer dan pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka yg meliputi wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu ketika dibawah kekuasaan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dgn seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dgn nama Putroe Phang. Konon krn terlalu cinta sang Sultan dgn istri Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabar sang puteri selalu sedih krn memendam rindu yg amat sangat terhadap kampung halaman yg berbukit-bukit. Oleh krn itu Sultan membangun Gunongan utk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Aceh melawan Portugis
Ketika kerajaan Islam Samudera Pasai dalam krisis maka kerajaan Islam Malaka yg muncul dibawah Parameswara (Paramisora) yg berganti nama setelah masuk Islam dgn panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan Albuquerque dgn armada menaklukan Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yg dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya.
Pada abad ke-16 Ratu Inggris yg paling berjaya Elizabeth I sang Perawan mengirim utusan bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan "Kepada Saudara Hamba Raja Aceh Darussalam" serta seperangkat perhiasan yg tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggeris dan mengizinkan Inggris utk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yg amat berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yg ditulis di atas kertas yg halus dgn tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih". Hubungan yg misra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah utk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dgn nama Meriam Raja James.
Selain Kerajaan Inggris Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dgn maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dgn mengirimkan rombongan utusan ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yg dikenal sebagai orang Indonesia pertama yg singgah di Belanda. Dalam kunjungan Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhir meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dgn dihadiri ileh para pembesar-pembesar Belanda. Namun krn orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam maka beliau dimakamkan dgn cara agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yg dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard suami menidiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.
Pada masa Iskandar muda Kerajaan Aceh mengirim utusan utk menghadap sultan Empayar Turki Uthmaniyyah yg berkedudukan di Konstantinompel. Kerana saat itu sultan Turki Uthmaniyyah sedang gering maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lama sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan utk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhir ketika mereka diterima oleh sang Sultan persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yg cakap dalam ilmu perang utk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersbut pula masih ada hingga kini dikenal dgn nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjut sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuha bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yg amat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhir mereka mempersembahkan seripah cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam buku Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu Kerajaan Aceh merupakan satu-satu kerajaan melayu yg memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut Istana Kesultanan Aceh luas tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalam meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yg mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga memerintahkan utk memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yg terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naik 4 Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal Seri Ratu Safiatudin Seri Tajul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yg merupakan Sultanah yg pertama adl seorang wanita yg amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Ia pula menguasai 6 bahasa Spanyol Belanda Aceh Melayu Arab dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yg beranggotakan 96an orang 1/4 diantara adl wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yg menyatakan keberatan akan seorang Wanita yg menjadi Sultanah. Akhir berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
Pada masa perang dgn Belanda Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikta di Singapura yg disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanan menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman utk meminta bantuan kepada Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Hubungan dgn Barat - Inggris
Pada abad ke-16 Ratu Inggris Elizabeth I mengirimkan utusan bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yg ditujukan: "Kepada Saudara Hamba Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yg tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris utk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yg berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yg ditulis di atas kertas yg halus dgn tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh yg masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin yg terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yg tunduk kepada Aceh yg terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yg mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah utk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dgn nama Meriam Raja James.
Hubungan dgn Barat - Belanda
Selain Kerajaan Inggris Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dgn maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dgn mengirimkan rombongan utusan ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yg dikenal sebagai orang Indonesia pertama yg singgah di Belanda. Dalam kunjungan Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhir meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dgn dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun krn orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam maka beliau dimakamkan dgn cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yg diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
Hubungan dgn Barat - Ottoman
Pada masa Iskandar Muda Kerajaan Aceh mengirim utusan utk menghadap Sultan Kekaisaran Ottoman yg berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Ottoman sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lama sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan utk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhir ketika mereka diterima oleh sang Sultan persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yg cakap dalam ilmu perang utk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dgn nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjut Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Hubungan dgn Barat - Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yg sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhir mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam buku Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu Kerajaan Aceh merupakan satu-satu kerajaan Melayu yg memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut Istana Kesultanan Aceh luas tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Do (kini Meuligo Aceh kediaman Gubernur). Di dalam meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yg mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan utk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istana (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Pasca-Sultan Iskandar Thani
Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yg terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naik empat Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal Seri Ratu Safiatudin Seri Tajul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yg merupakan Sultanah yg pertama adl seorang wanita yg amat cakap. Ia merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Ia pula menguasai 6 bahasa Spanyol Belanda Aceh Melayu Arab dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yg beranggotakan 96 orang 1/4 di antara adl wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yg menyatakan keberatan akan seorang wanita yg menjadi Sultanah. Akhir berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.
Datang Pihak kolonial Ke Aceh
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yg berkepanjangan sejak awal abad ke-16 pertama dgn Portugal lalu sejak abad ke-18 dgn Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18 Aceh terpaksa menyerahkan wilayah di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824 Perjanjian Britania-Belanda ditandatangani di mana Britania menyerahkan wilayah di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adl koloni mereka meskipun hal ini tak benar. Pada tahun 1871 Britania membiarkan Belanda utk menjajah Aceh kemungkinan utk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
Perang Aceh
TEUKU UMAR
Tahun 1873 pecah perang Aceh melawan Belanda. Perang Aceh disebabkan karena:
1. Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari perjanjian Siak 1858. Dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli Langkat Asahan dan Serdang kepada Belanda padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda ada dibawah kekuasaan Aceh.
2. Belanda melanggar Siak maka berakhirlah perjanjian London (1824). Dimana isi perjanjian London adl Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dgn garis lintang Sinagpura. Kedua mengakui kedaulatan Aceh.
3. Aceh menuduh Belanda tak menepati janji sehingga kapal-kapal Belanda yg lewat perairan Aceh ditenggelamkan Aceh. Perbuatan Aceh ini disetujui Inggris krn memang Belanda bersalah.
4. Di buka terusan Suez oleh Ferdinand de Lessep. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting utk lalulintas perdagangan.
5. Dibuat Perjanjian Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda yg isi Inggris memberika keleluasaan kepada Belanda utk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Sumatera. Belanda mengizinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerah di Guinea Barat kepada Inggris.
6. Akibat perjanjian Sumatera 1871 Aceh mengadakan hubungan diplomatik dgn Konsul Amerika Italia Turki di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki 1871.
7. Akibat hubungan diplomatik Aceh dgn Konsul Amerika Italia dan Turki di Singapura Belanda menjadikan itu sebagai alasan utk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Nieuwenhuyzen dgn 2 kapal perang datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tengtang apa yg sudah dibicarakan di Singapura itu tetapi Sultan Machmud menolak utk memberikan keterangan.
Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dgn 3.000 serdadu yg dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874 namun dikalahkan tentara Aceh di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah yg telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874 digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yg dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Pada 13 Oktober 1880 pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir. Bagaimanapun perang dilanjutkan secara gerilya dan perang fisabilillah dikobarkan di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Pada masa perang dgn Belanda Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yg disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanan menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman utk meminta bantuan kepada Kekaisaran Ottoman. Namun Kekaisaran Ottoman kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yg sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh dan menyerang kawasan tersebut. Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yg cukup besar sebagai gantinya. Sementara itu Menteri Perang Belanda Weitzel kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat di antara Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima prang besar dan pada 1 Januari 1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda utk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dgn pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.
Pada 1892 dan 1893 pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Snoeck Hurgronje seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yg telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Dr Snouck Hurgronye yg menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh utk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerja itu dibukukan dgn judul Rakyat Aceh ( De Acehers). Dalam buku itu disebutkan rahasia bagaimana utk menaklukkan Aceh.
Isi nasehat Snouck Hurgronye kepada Gubernur Militer Belanda yg bertugas di Aceh adalah
1. Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yg berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
2. Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
3. Jangan mau berunding dgn para pimpinan gerilya.
4. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
5. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh dgn cara mendirikan langgar masjid memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Pada tahun 1898 J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh pada 1898-1904 kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat sebagai penasehat dan bersama letnan Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda) merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Daud akhir meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istri anak serta ibunda terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhir jatuh seluruh pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dgn bangunan baru yg sekarang dikenal dgn nama Pendopo Gubernur. Pada tahun tersebut hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz dimana dibentuk pasukan marsuse yg dipimpin oleh Christoffel dgn pasukan Colone Macan yg telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan hutan-hutan rimba raya Aceh utk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikut yg dilakukan Belanda adl dgn cara penculikan anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misal Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van Der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibat Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van Der Maaten dgn diam-diam menyergap Tangse kembali Panglima Polem dapat meloloskan diri tetapi sebagai ganti ditangkap putera Panglima Polem Cut Po Radeu saudara perempuan dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibat Panglima Polem meletakkan senjata dan menyerah ke Lo Seumawe (1903). Akibat Panglima Polem menyerah banyak penghulu-penghulu rakyat yg menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik selanjut pembersihan dgn cara membunuh rakyat Aceh yg dilakukan dibawah pimpinan Van Daalen yg menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang dibunuh yg terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nya Dien istri Teuku Umar yg masih melakukan perlawanan secara gerilya dimana akhir Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang Jawa Barat.
Surat Perjanjian Pendek Tanda Menyerah Ciptaan Van Heutz
Van Heutz telah menciptakan surat pendek penyerahan yg harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yg telah tertangkap dan menyerah. Dimana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan Raja (Sultan) mengakui daerah sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda. Raja berjanji tak akan mengadakan hubungan dgn kekuasaan di luar negeri. Berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yg ditetapkan Belanda. (RH Saragih J Sirait M Simamora Sejarah Nasional 1987)
Bangkit Nasionalisme Aceh
Sementara pada masa kekuasaan Belanda bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dgn wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Sarekat Islam sebuah organisasi dagang Islam yg didirikan di Surakarta pada tahun 1912 tiba di Aceh pada sekitar tahun 1917. Ini kemudian diikuti organisasi sosial Muhammadiyah pada tahun 1923. Muhammadiyah membangun sebuah sekolah Islam di Kutaraja (kini bernama Banda Aceh) pada tahun 1929. Kemudian pada tahun 1939 Partai Indonesia Raya (Parindra) membukan cabang di Aceh menjadi partai politik pertama di sana. Pada tahun yg sama para ulama mendirikan PUSA(Persatuan Ulama Seluruh Aceh) sebuah organisasi anti-Belanda.
Perang Dunia II
Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama Moehammad Hasan).
Seperti banyak penduduk Indonesia dan Asia Tenggara lain rakyat Aceh menyambut kedatangan tentara Jepang saat mereka mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942 krn Jepang berjanji membebaskan mereka dari penjajahan. Namun ternyata pemerintahan Jepang tak banyak berbeda dari Belanda. Jepang kembali merekrut para uleebalang utk mengisi jabatan Gunco dan Sunco (kepala adistrik dan subdistrik). Hal ini menyebabkan kemarahan para ulama dan memperdalam perpecahan antara para ulama dan uleebalang. Pemberontakan terhadap Jepang pecah di beberapa daerah termasuk di Bayu dekat Lhokseumawe pada tahun 1942 yg dipimpin Teungku Abdul Jalil dan di Pandrah Jeunieb pada tahun 1944.
Masa Republik Indonesia- Aceh Tidak Termasuk Anggota Negara-negara Bagian RIS
41 tahun kemudian semenjak selesai perang Aceh Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata perjuangan utk bebas dari cengkraman Belanda belum selesai sebelum Van Mook menciptakan negara-negara boneka yg tergabung dalam RIS (Republik Indonesia Serikat).
Dimana ternyata Aceh tak termasuk negara bagian dari federal hasil ciptaan Van Mook yg meliputi seluruh Indonesia yaitu yg terdiri dari:
1. Negara RI yg meliputi daerah status quo berdasarkan perjanjian Renville.
2. Negara Indonesia Timur.
3. Negara Pasundan termasuk Distrik Federal Jakarta
4. Negara Jawa Timur
5. Negara Madura
6. Negara Sumatra Timur termasuk daerah status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu
7. Negara Sumatra Selatan
8. Satuan-satuan kenegaraan yg tegak sendiri seperti Jawa Tengah Bangka-Belitung Riau Daerah Istimewa Kalimantan Barat Dayak Besar Daerah Banjar Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur.
9. Daerah.daerah Indonesia selebih yg bukan daerah-daerah bagian.
Yang terpilih menjadi Presiden RIS adl Soekarno dalam sidang Dewan Pemilihan Presiden RIS pada tanggal 15-16 Desember 1949. Pada tanggal 17 Desember 1949 Presiden Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS. Sedang utk jabatan Perdana Menteri diangkat Mohammad Hatta. Kabinet dan Perdana Menteri RIS dilantik pada tanggal 20 Desember 1949.
Pengakuan Belanda Kepada Kedaulatan RIS Tanpa Aceh
Belanda dibawah Ratu Juliana Perdana Menteri Dr. Willem Drees Menteri Seberang Lautnan Mr AMJA Sassen dan ketua Delegasi RIS Moh Hatta membubuhkan tandatangan pada naskah pengakuan kedaulatan RIS oleh Belanda dalam upacara pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Pada tanggal yg sama di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Sedangkan di Jakarta pada hari yg sama Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota AHJ Lovink dalam suatu upacara bersama-sama membubuhkan tandangan pada naskah penyerahan kedaulatan. (30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949 Sekretariat Negara RI 1986)
Kembali Ke Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS dgn persetujuan Parlemen (DPR) dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No 11 tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS. Berdasarkan Undang-Undang Darurat itu beberapa negara bagian menggabungkan ke RI sehingga pada tanggal 5 April 1950 yg tinggal hanya tiga negara bagian yaitu RI NST (Negara Sumatera Timur) dan NIT (Negara Indonesia Timur).
Pada tanggal 14 Agustus 1950 Parlemen dan Senat RIS mengesahkan Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia hasil panitia bersama.
Pada rapat gabungan Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 15 Agustus 1950 Presiden RIS Soekarno membacakan piagam terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu juga Presiden Soekarno kembali ke Yogya utk menerima kembali jabatan Presiden RI dari Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI Mr. Asaat. (30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964 Sekretariat Negara RI 1986)
Maklumat Negara Islam Indonesia Aceh oleh Daud Beureueh
3 tahun setelah RIS bubar dan kembali menjadi RI Daud Beureueh di Aceh memaklumatkan Negara Islam Indonesia di bawah Imam SM Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953.
Isi Maklumat NII di Aceh adalah: Dengan Lahirnja Peroklamasi Negara Islam Indonesia di Atjeh dan daerah sekitarnja maka lenjaplah kekuasaan Pantja Sila di Atjeh dan daerah sekitarnja digantikan oleh pemerintah dari Negara Islam.
Dari itu dipermaklumkan kepada seluruh Rakjat bangsa asing pemeluk bermatjam2 Agama pegawai negeri saudagar dan sebagainja:
1. Djangan menghalang2i gerakan Tentara Islam Indonesia tetapi hendaklah memberi bantuan dan bekerdja sama utk menegakkan keamanan dan kesedjahteraan Negara.
2. Pegawai2 Negeri hendaklah bekerdja terus seperti biasa bekerdjalah dgn sungguh2 supaja roda pemerintahan terus berdjalan lantjar.
3. Para saudagar haruslah membuka toko laksanakanlah pekerdjaan itu seperti biasa Pemerintah Islam mendjamin keamanan tuan2.
4. Rakjat seluruhnja djangan mengadakan Sabotage merusakkan harta vitaal mentjulik merampok menjiarkan kabar bohong inviltratie propakasi dan sebagainja jang dapat mengganggu keselamatan Negara. Siapa sadja jang melakukan kedjahatan2 tsb akan dihukum dgn hukuman Militer.
5. Kepada tuan2 bangsa Asing hendaklah tenang dan tentram laksanakanlah kewadjiban tuan2 seperti biasa keamanan dan keselamatan tuan2 didjamin.
6. Kepada tuan2 yg beragama selain Islam djangan ragu2 dan sjak wasangka jakinlah bahwa Pemerintah N.I.I. mendjamin keselamatan tuan2 dan agama jang tuan peluk krn Islam memerintahkan utk melindungi tiap2 Umat dan agamanja seperti melindungi Umat dan Islam sendiri. Achirnja kami serukan kepada seluruh lapisan masjarakat agar tenteram dan tenang serta laksanakanlah kewadjiban masing2 seperti biasa.
Negara Islam Indonesia
Gubernur Sipil/Militer Atjeh dan Daerah sekitarnja.
MUHARRAM 1373
Atjeh Darussalam
September 1953
Daud Beureueh Menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila
Bulan Desember 1962 7 bulan setelah Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo Imam NII tertangkap (4 Juni 1962) di atas Gunung Geber di daerah Majalaya oleh kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam rangka Operasi Bratayudha Daud Beureueh di Aceh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila setelah dilakukan "Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda Kolonel M.Jasin. (30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964 Sekretariat Negara RI 1986)
Hasan Di Tiro Mendeklarasi Negara Aceh Sumatera
14 tahun kemudian setelah Daud Beureueh menyerah kepada Penguasa Daulah Pancasila Hasan Muhammad di Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatra. Bunyi deklarasi kemerdekaan Negara Aceh Sumatra itu adalah:".
“ "Kepada rakyat di seluruh dunia:
Kami rakyat Aceh Sumatra melaksanakan hak menentukan nasib sendiri dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang negara kami dgn ini mendeklarasikan bebas dan berdiri sendiri dari semua kontrol politik pemerintah asing Jakarta dan dari orang asing Jawa.
Atas nama rakyat Aceh Sumatra yg berdaulat.
Tengku Hasan Muhammad di Tiro.
Ketua National Liberation Front of Acheh Sumatra dan Presiden Aceh Sumatra
4 Desember 1976" ”
“ "To the people of the world:
We the people of Acheh Sumatra exercising our right of self-determination and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java.
In the name of sovereign people of Acheh Sumatra. Tengku Hasan Muhammad di Tiro. Chairman National Liberation Front of Acheh Sumatra and Head of State Acheh Sumatra December 4 1976 ”
Akhir Konflik di Aceh - Operasi militer Indonesia di Aceh
Pada 15 Agustus 2005 GAM dan pemerintah Indonesia akhir berhasil mencapai kesepakatan damai utk mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut.
Pada 26 Desember 2004 sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yg melanda sebagian besar pesisir barat Aceh termasuk Banda Aceh dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.
Di samping itu telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah NAD khusus di bagian barat selatan dan pedalaman utk memisahkan diri dari NAD dan membentuk 2 provinsi baru yg disebut Aceh Leuser Antara yg terdiri dari Aceh Tengah Bener Meriah Gayo Lues Aceh Tenggara dan Aceh Singkil serta Aceh Barat Selatan atau ABAS yg terdiri dari Nagan Raya Aceh Barat Daya Aceh Selatan Simeulue Aceh Barat dan Aceh Jaya.
4 Desember 2005 diadakan Deklarasi bersama di Gelora Bung Karno Jakarta yg dihadiri ratusan orang dan 11 bupati yg ingin dimekarkan wilayah dan dilanjutkan dgn unjukrasa yg menuntut lepas 11 kabupaten tadi dari Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada 15 Agustus 2005 GAM dan pemerintah Indonesia akhir menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yg telah berlangsung selama hampir 30 tahun.
Hubungan sejarah Aceh dan Tiongkok
Catatan sejarah tertua dan pertama-tama mengenai kerajaan-kerajaan
di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam
catatan sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu
kerajaan yang terletak di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang
dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks
Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-
li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui
bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan
Shamsuddin) utusan ke Tiongkok.
Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya
bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap
mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la
(Samudra), Lan-wu-li (Lamuri).
Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan
barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah
catatan terperinci mengenai Aceh modern.
Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai
dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai
Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur
sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur
Tengah, dimana para pedagang dari berbagai negara mampir
dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok
atau Timur Tengah, India.
Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad
13) dan Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari
Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai
ini adalah lada dan banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak
barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke
Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam
pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal
1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu.
Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam
(dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam
keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini
disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat
(India), yang singgah atau menetap di Pasai.
Dikota Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti
adanya "kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja
Pasai. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri,
komunitas Tionghoa telah berada di Aceh sejak abad ke-13. Karena
Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran
internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka
berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana yang
berkarakter kosmopolitan dan multietnis.
Tome Pires menyebutkan bahwa kota Pasai adalah kota penting yang
berpenduduk 20.000 orang. Pada tahun 1524 Samudra Pasai ditaklukan
oleh Sultan Ali Mughayat Syah dari kerajaan Aceh Darussalam dan
sejak itu Samudra Pasai merosot dan pudar pamornya untuk
selamanya.
Puncak kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam adalah ketika pada jaman
Sultan Iskandar Muda (1607-36), Aceh pada waktu jaman Iskandar Muda
ini adalah negara yang paling kuat diseluruh Nusantara. Ia
meluaskan wilayah kekuasaannya dan memerangi Portugis, Kesultanan
Johor, Pahang dll. Aceh juga merupakan sebuah negara maritim dan
sebagai salah satu pusat perdagangan internasional. Banyak pedagang
asing singgah dan menetap di Aceh, seperti dari Arab, Persia, Pegu,
Gujarat, Jawa, Turki, Bengali, Tionghoa, Siam, Eropah dll.
Di kota kerajaan ini (Banda Aceh sekarang), banyak dijumpai
perkampungan- perkampungan dari berbagai bangsa, seperti kampung
Cina, Portugis, Gujarat, Arab, Pegu, Benggali dan Eropah lainnya.
Kota Aceh ini benar-benar sebuah kota kosmopolitan yang berkarakter
internasional dan multietnis. Seperti di Samudra Pasai, Aceh juga
banyak menghasilkan Lada yang diekspor ke Tiongkok.
Pada waktu itu orang Aceh juga telah menguasai pembuatan atau
pengecoran pembuatan Meriam dan tidak semua meriam di Aceh adalah
buatan luar negeri (seperti meriam buatan Turki atau Portugis).
Orang Aceh mendapatkan ilmu pembuatan meriam ini dari orang
Tionghoa (Kerajaan Aceh, Denys Lombard). Demikian juga dengan
pertenakan sutera yang sudah dikuasai oleh orang Aceh yang
kemungkinan besar diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa.
Pengganti Sultan Iskandar Muda adalah mantunya sendiri yang bernama
Sultan Iskandar Thani (1636-41). Periode pemerintahan Iskandar
Thani ini adalah awal dari kemerosotan Kerajaan Aceh Darussalam,
periode pemerintahannya juga sangat singkat. Iskandar Thani tidak
melakukan politik ekspansi wilayah lagi seperti mertuanya dan
lebih memusatkan kepada pengetahuan dan ajaran Islam.
Pernah pada jaman Sultan Iskandar Thani ini orang Tionghoa
dikenakan larangan untuk tinggal di wilayahnya, karena dianggap
memelihara Babi. Pada jaman Iskandar Thani ini di ibukota kerajaan
telah dibangun sebuah taman yang dinamakan "Taman Ghairah", seperti
yang dikisahkan dalam buku Bustan us-Salatin karangan Nuruddin ar-
Raniri(orang Gujarat,penasihat Sultan,ahli tasawuf). Diceritakan
bahwa didalam taman itu telah dibangun sebuah "Balai Cina"
(paviliun) yang dibuat oleh para pekerja orang Tionghoa.
Peranan orang Tionghoa dibidang perdagangan di Aceh diperkirakan
bertambah besar pada paruh kedua abad ke-17. Selain ada yang
tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh ini, ada juga
pedagang musiman yang datang dengan kapal layar (10-12 kapal sekali
datang) pada bulan-bulan tertentu seperti pada bulan Juli. Kapal-
kapal (Jung) Tionghoa tersebut juga membawa beras ke Aceh (impor
beras dari Tiongkok). Mereka tinggal dalam perkampungan Cina dekat
pelabuhan , yang sekarang mungkin lokasinya disekitar "Peunayong"
(Pecinan Banda Aceh).
Bersama dengan kapal itu juga datang para pengrajin bangsa Tionghoa
seperti tukang kayu, mebel, cat dll. Begitu tiba mereka mulai
membuat koper, peti uang, lemari dan segala macam lainnya. Setelah
selesai mereka pamerkan dan jual didepan pintu rumah. Maka selama
dua atau dua bulan setengah berlangsunglah "pasar (basar) Cina" yang
meriah. Toko-toko penuh sesak dengan barang dan seperti biasanya
orang-orang Tionghoa ini tidak lupa juga untuk bermain judi seperti
kebiasaannya. Pada akhir September, mereka berlayar kembali ke
Tiongkok dan baru kembali lagi tahun depannya. Barang-barang dari
Tiongkok ini ada beberapa diantaranya diekspor ke India.(Kerajaan
Aceh, Denys Lombard)
Cakra Donya
Lonceng atau genta yang terkenal dan termasyhur (icon kota Banda
Aceh) di Aceh ini sekarang diletakkan di Musium Aceh, Banda Aceh.
Lonceng yang dibawa oleh Cheng Ho ini adalah pemberian Kaisar
Tiongkok, pada abad ke-15 kepada Raja Pasai. Ketika Pasai
ditaklukkan oleh Aceh Darussalam pada tahun 1524, lonceng ini dibawa
ke Kerajaan Aceh. Pada awalnya lonceng ini ditaruh diatas kapal
Sultan Iskandar Muda yang bernama `Cakra Donya " (Cakra Dunia)
waktu melawan Portugis, maka itu lonceng ini dinamakan Cakra Donya.
Kapal Cakra Donya ini bagaikan kapal induk armada Aceh pada waktu
itu dan berukuran sangat besar, sehingga Portugis
menamakannya "Espanto del Mundo" (teror dunia). Kemudian Lonceng
yang bertuliskan aksara Tionghoa dan Arab (sudah tak dapat dibaca
lagi aksaranya sekarang) ini diletakkan dekat mesjid Baiturrahman
yang berada dikompleks Istana Sultan. Namun sejak tahun 1915 lonceng
ini dipindahkan ke Musium Aceh dan ditempatkan didalam kubah hingga
sekarang (halaman Musium). Lonceng Cakra Donya ini telah menjadi
benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Lonceng ini
juga juga merupakan bukti dan simbol hubungan bersejarah antara
Tiongkok dan Aceh sejak abad ke-15.
Masjid Raya Baiturrahman
Masjid Baiturrahman dibangun oleh pemerintah Belanda sebagai
pengganti masjid yang sama namanya yang dihancurkan oleh Belanda
sebelumnya pada tahun 1874 . Jadi dalam rangka mengambil hati rakyat
Aceh, masjid ini dibangun kembali. Peletakan batu pertamanya pada
bulan Oktober 1879 dan selesai pada Desember 1881. Arsiteknya
adalah seorang Belanda yang bernama Bruins dari Departemen PU.
Bahan bangunannya banyak yang diimpor dari luar negeri seperti batu
pualam dari Tiongkok dan besi jendela dari Belgia.
Pembangunan masjid Baiturrahman ini dilaksanakan oleh seorang
pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie. Bukan
saja kontraktornya seorang Tionghoa, para pekerjanya-pun hampir
sebagian besar terdiri dari pekerja orang Tionghoa yang memiliki
ketrampilan khusus, karena bangunan konstruksi dan detailnya cukup
rumit. Orang Aceh yang diharapkan dapat bekerja disana ternyata
sangat mengecewakan bouwherrnya. (Sejarah Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Aceh, , Depdikbud, 1991). Pada peristiwa tsunami tahun
2004, bangunan masjid ini berdiri dengan ajaib, kokoh dan tidak
mengalami kerusakan yang berarti, walaupun diterjang oleh pasang
air laut yang dahsyat.
Jaman Orba
Jaman Orba (Suharto) adalah masa-masa yang gelap dalam sejarah
komunitas Tionghoa di Aceh. Pada 8 Mei 1966, Pangdam Aceh Brigjen
Ishak Djuarsa (orang Sunda, bukan Aceh) mengumumkan untuk mengusir
semua warga Tionghoa dari Aceh sebelum 17 Agustus 1966. Akibatnya
sekitar 15.000 warga Tionghoa mengungsi dengan baju dan
perlengkapan seadanya mengungsi ke Medan. Mereka ditampung
dijalan Metal (kamp Metal), gudang tembakau, bekas sekolah Tionghoa
dan klenteng-klenteng. Hal yang sama dilakukan oleh Pangdam Jawa
Timur, Jenderal Soemitro ketika itu terhadap warga Tionghoa di Jawa
Timur.
Di kota Medan sendiri tembok-tembok penuh dengan coretan-coretan
seperti "Orang-orang Cina pulang ! dan sekali Cina tetap Cina !".
Di Medan-pun mereka masih diteror, seperti yang dikatakan oleh
Pangdam Sumtera Utara pada Oktober 1966, Brigjen Sobirin Mochtar
yang mengatakan bahwa demo-demo anti Tionghoa sampai sekarang tidak
cukup untuk mematahkan dominasi Tionghoa dalam perekonomian setempat
dan harus menolak atau menjual barang kepada orang Tionghoa serta
mengawasinya agar orang-orang enggan berbelanja kesana. Ormas Orba
seperti KAMI, KAPPI dan KENSI (pengusaha) Sumatera Utara juga
menuntut pemerintah untuk mengusir semua warga Tionghoa dari
Sumatera Utara dan Indonesia.
Ketika itu Tiongkok yang masih dalam kondisi kembang kempis dalam
negerinya sendiri, terpaksa mengirim kapal "Kuang Hua" untuk
menjemput warga Tionghoa yang diusir dari Aceh ini. Selama 4 kali
pelayaran, kapal Kuang Hua berhasil merepatriasi sebanyak 4000 orang
pengungsi Aceh dari Medan. Diberitakan bahwa kondisi kamp-kamp
pengungsian di Medan itu sangat buruk kondisinya, air untuk minum-
pun sengaja dikurangi hingga beberapa pengungsi harus minum dari
keran air WC yang disaring dan dikumpulkan.
Pada waktu itu orang-orang Tionghoa harus menolong dirinya sendiri,
karena tidak ada negara asing, badan sosial dunia , LSM, atau badan-
badan Internasional lainnya yang (mau) membantu. Pada jaman Orba
itu, banyak aset-aset komunitas Tionghoa diambil alih dan disita,
seperti misalnya gedung sekolah SMA Negeri 2 dan SMP 4 yang
sebelumnya adalah bekas sekolah Tionghoa di Banda Aceh. Demikian
juga dengan gedung di kawasan Pusong Lhokseumawe yang pernah menjadi
SMEA Negeri dan PGA Negeri, atau Gedung Ampera di Langsa yang juga
pernah menjadi SMEA dan Komisariat KAPPI di Aceh Timur. Akibat
sentimen anti Tionghoa yang keras pada saat itu (antitesis daripada
karakter dan tradisi orang Aceh), maka banyak warga Tionghoa
meninggalkan Aceh berpindah ke Medan, Jakarta atau kota-kota lainnya
di Sumatera atau Indonesia.
Tsunami
Pada peristiwa tsunami tahun 2004, banyak warga Tionghoa Aceh yang
menjadi korbannya dan meninggal. Sekitar 6000 orang Tionghoa telah
mengungsi ke Medan dan ditampung di kamp Metal. Di kamp pengungsian
Medan ini bukan hanya warga Tionghoa saja yang ditampung untuk
mendapatkan akomodasi dan perawatan, warga dari etnis lainpun
ditampung di kamp-kamp pengungsian tersebut, tanpa perbedaan..
Diperkirakan sekitar 1000 warga Tionghoa meninggal pada waktu
peristiwa tsunami itu yang kebanyakan bermukim di "Peunayong"
atau pusat perniagaan, perdagangan atau pecinan di Banda Aceh.
Mereka juga banyak yang mengeluh, bahwa toko-tokonya ada yang
dijarah ketika itu (sekitar 60% pertokoan di Banda Aceh milik warga
Tionghoa). Tidak semua warga Tionghoa itu ekonominya berkecukupan
atau kaya di Banda Aceh, warga Tionghoa yang miskin-pun dapat
dijumpai disana seperti mereka yang tinggal di Kampung Mulia dan
Kampung Laksana, yang tak jauh dari Peunayong.
Dan tidak semuanya warga Tionghoa dari Banda Aceh ini mengungsi ke
Medan, beberapa diantaranya tetap bertahan di Banda Aceh, seperti
sepasang suami istri pemilik toko kaca mata "Joy Optikal", dimana
separuh pelanggannya telah meninggal dunia. Pemilik toko Jay
Optikal, Maria Herawati berkata "Hidup atau Mati, saya akan tetap
tinggal di Aceh" (The Christian Science Monitor, February 18, 2005).
Kepedulian komunitas Tionghoa terhadap Aceh dapat dilihat juga
dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh berbagai organisasi
dan individu Tionghoa pada waktu pasca bencana tsunami dengan
memberikan bantuan yang dibutuhkan, termasuk juga warga Tionghoa
Indonesia yang bermukim di Amerika Serikat seperti ICCA (Indonesian
Chinese American Association) yang berkedudukan di Monterey Park,
California serta Organisasai- organisasi Tionghoa lainnya dari
Singapore, Malaysia dan Taiwan juga datang memberikan bantuan.
Pemerintah Tiongkok-pun telah mengirimkan 353 kontainer berisi bahan
bangunan untuk membangun sekolah di Aceh. Bantuan dengan berat
total 7000 ton itu akan dipakai untuk membangun 60 sekolah yang
masing-masingnya terdiri dari 15 kelas. Bantuan ini diberikan sesuai
dengan permintaan pemerintah Indonesia. Selain itu Dubes Tiongkok
untuk Indonesia , Lan Li Jun, mengatas namakan sumbangan dari rakyat
Tiongkok, memberikan sumbangan 12 juta dolar lebih untuk membangun
pemukiman baru dengan 660 unit rumah tipe 42 di Desa Neuheuen,
kabupaten Aceh Besar. Selain perumahan yang dibangun diatas lahan
seluas 22,4 ha itu, akan dibangun juga gedung TK, SD, pertokoan,
Puskesmas, balai pertemuan, tempat bermain dan lapangan sepakbola.
Perumahan ini nantinya akan dinamakan Kampung Persahabatan Indonesia-
Tiongkok.
Pasca tsunami dan rekonstruksi Aceh
Berdasarkan pengalaman yang lalu, seperti pada pasca kerusuhan di
Maluku (Ambon, Ternate dan Halmahera), pembangunan kembali atau
rehabilitasi suatu daerah pasca bencana, dibutuhkan suatu kegiatan
ekonomi untuk benar-benar dapat kembali seperti sedia kala. Adalah
tidak cukup hanya terbatas pada rehabilitasi tempat tinggal,
prasarana teknis dan sosial lainnya. Memiliki tempat tinggal
tetapi tidak ada kegiatan ekonomi, berarti juga tidak memecahkan
masalah
Tanpa adanya kegiatan ekonomi atau aktivitas perdagangan, sulit
kiranya untuk berjalan normal kembali, seperti kemana rakyat
nantinya menjual hasil buminya atau tangkapan ikannya. Secara
tradisionil dan sederhana, seorang nelayan misalnya dapat berhutang
dahulu kepada seorang pedagang atau Taoke setempat sebelum melaut
(untuk mendapatkan bahan bakar, es batu untuk mengawetkan ikan,
makanan, sewa perahu, perlengkapan menangkap ikan, dll).
Hasil tangkapannya atau hasil bumi ini biasanya ditampung dan
dibeli oleh para pedagang setempat dan sebagian dipergunakan
untuk membayar hutang atau uang mukanya kembali. Selebihnya
dipergunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang disalurkan
oleh para pedagang sebagai distributornya, dengan demikian kegiatan
ekonomi dapat berjalan lagi. Suka atau tidak suka, model atau
interaksi perdagangan inilah yang telah berfungsi sampai sekarang.
Metode canggih dan modern seperti mendapatkan kredit dari Bank
Perkreditan Rakyat setempat, relatif sukar untuk dilaksanakan
bagi nelayan atau petani kebanyakan, karena prosedur dan
birokrasinya berbelit serta makan waktu dan biaya, pada umumnya
mereka tidak memiliki aset yang dapat dijadikan agunan atau
kolateral, kecuali tenaga kerjanya sendiri. Karenanya Gubernur
Maluku telah menghimbau kepada warga Tionghoa yang berasal dari
Ambon dan Ternate, untuk kembali kesana untuk menjalankan roda
perekonomiannya kembali.
Demikian juga dengan di Aceh, warga Tionghoa dapat berperan
menjalankan roda ekonominya kembali di Aceh. Berbeda dengan di
Maluku, Aceh banyak menerima bantuan-bantuan dari lembaga
Internasional. Tetapi inipun harus dilanjuti dengan suatu kegiatan
ekonomi.
Kedudukan Geostrategis Aceh
Aceh dikenal sebagai salah satu propinsi yang kaya akan sumber
alamnya di Indonesia dan kelebihan Aceh dibandingkan dengan
propinsi lainnya di Indonesia adalah lokasinya yang strategis
sama seperti pada abad-abad yang lalu. Aceh terletak di jalur lalu
lintas pelayaran Internasional atau disebut SLOC (Sea Lines of
Communication) yaitu di selat Malaka yang sangat strategis dan
merupakan pintu gerbang yang menghubungi lautan Pasifik dengan
lautan Hindia.
Selat Malaka yang panjangnya sekitar 900 km itu
diliwati sekitar 50.000 kapal setiap tahunnya serta 11 juta barel
minyak diangkut oleh kapal tanker melintas selat ini setiap
harinya, serta seperempat perdagangan dunia dan 80% kebutuhan
minyak Jepang dan Tiongkok diangkut melalui selat ini.
Dari segi geografis, Aceh terletak berdekatan dengan pusat-pusat
pertumbuhan baru di abad 21 yaitu Tiongkok dan India. Dengan kedua
negara ini, Aceh telah memiliki hubungan perdagangan yang
bersejarah sejak beberapa abad yang lalu. Jadi Aceh terletak
dipersimpangan jalur perdagangan internasional dan budaya.
Karena posisinya yang strategis ini maka Aceh menjadi pusat
pertemuan, perhatian dan kepentingan pihak-pihak nasional dan
internasional serta negara lainnya. Maka tidak heran kalau negara
EU dan negara lainnya berkepentingan menjadi mediator perdamaian
di Aceh dan beberapa orang-orang penting seperti Clinton, mantan
presiden AS juga datang berkunjung ke Aceh lebih dari satu kali..
Pada perang kemerdekaan 1945, menjelang persetujuan Renville,
Belanda meningkatkan blokade ekonominya terhadap Republik Indonesia,
terutama di Jawa dan Sumatera. Sejak itu pemerintahan RI melakukan
berbagai usaha untuk menembus blokade ini dari Aceh keluar negeri
(Malaya, Singapura, Thailand).
Selama perang kemerdekaan, Aceh tidak pernah dikuasai Belanda.
Dengan demikian Aceh merupakan daerah aman atau basis untuk
menampung senjata yang didatangkan dari luar negeri. Dalam hubungan
ini seorang Tionghoa, Mayor John Lie beserta kawan-kawannya berhasil
menerobos blokade Belanda melalui Aceh dengan mempergunakan speed
boat, dan salah satu speed boatnya terkenal dengan nama " The
Outlaw".
Aceh setelah Pilkada
Berdasarkan hasil perhitungan cepat yang dilakukan oleh Lingkaran
Survey Indonesia, pasangan Irwandi Jusuf dan Muhammad Nazar
memenangkan pemilihan calon gubernur Nangroe Aceh Darusallam.
Pelaksanaan Pilkada Aceh ini berjalan relatif aman dan damai, dan
ini akan merupakan awal lembaran baru sejarah Aceh, yang selama
ini telah dilanda konflik berdarah dan bencana alam tsunami.
Irwandi Jusuf, 46 tahun, sebagai calon gubernur pertama Aceh yang
otonom adalah generasi muda GAM, yang pernah ikut bergerilya
bersenjata. Ia juga pernah mendapatkan pendidikan di Oregon, AS
sebagai doker hewan, dan fasih berbahasa Inggris. Selama kampanye
Irwandi terlihat bersikap moderat dan sering berpakaian
tradisional Aceh dalam setiap penampilannya.
Apakah hasil Pilkada dan otonomi yang dicapainya sekarang dapat
membawa kesejahteraan kepada masyarakatnya, dan tidak mengulangi
seperti yang sering terjadi, dimana otonomi daerah relatif sedikit
membawa kemajuan yang berarti bagi masyarakat dan daerahnya,
kecuali beberapa Gubernur atau Bupatinya yang ditahan oleh KPK
karena terlibat KKN, masih harus dibuktikan oleh Irwandi Jusuf dan
Muhammad Nazar. Dan ini adalah tugas dan tantangan bagi mereka
berdua.
Pembangunan infrastruktur dan ekonomi adalah prioritas utama di Aceh
sekarang. Dengan kekayaan alam yang besar dan lokasinya yang
strategis, maka hal ini sebenrnya mempermudah modal asing untuk
datang dan investasi ke Aceh. Tetapi sampai kini, Aceh masih
terkesan sebagai sebuah propinsi yang konservatif dengan polisi
syariah-nya.
Bagaimana Aceh dapat memadukan nilai-nilai Islam dengan
modernisasi adalah suatu tantangan bagi Irwandi Jusuf. Bukannya
mustahil bahwa Aceh suatu waktu dapat menjadi sebuah propinsi
percontohan bagi yang lainnya.
Pada hakikatnya Aceh sebagai negeri yang memiliki sejarah tradisi
Maritim, memiliki sifat keterbukaan terhadap dunia luar, terbuka
untuk ide-de baru, kosmopolitan, multietnis dan bertoleransi serta
tempat bertemu dan bercampurnya (melting pot) berbagai bangsa
yang ikut membentuk identitas orang Aceh sekarang, maka Aceh
dikenal dengan singkatan sebagai (A)rab, (C)ina, (E)ropah, (H)
industan atau India.
Dalam pembangunan Aceh paska Pilkada yang bersejarah ini, komunitas
Tionghoa dapat berperan dalam pembangunan ekonominya nanti. Bukan
saja dibidang dibidang pembangunan perekonomian saja, dibidang-
bidang lainnya juga harus dapat diberikan kesempatan yang sama
kepada mereka tanpa kecurigaan dan perbedaan dalam membangun Aceh
bersama.
Salah satu pelopor dan pejuang hak-hak azasi manusia di Indonesia
adalah putera Aceh dari etnis Tionghoa yaitu Yap Thiam Hien,
demikian juga dengan sebuah terobosan kultural yang berani di era
reformasi ini, yaitu siaran stasiun TV nasional pertama di
Indonesia yang berbahasa Tionghoa, Metro Xinwen (Metro TV) yang
dipelopori oleh orang Aceh, Surya Paloh.
Sistem Pemerintahan Indonesia
Sejak tahun 1999, Aceh telah mengalami beberapa pemekaran wilayah hingga sekarang mencapai 5 pemerintahan kota dan 18 kabupaten sebagai berikut:
Perwakilan
Meuligoe, tempat kediaman gubernur Aceh
Berdasarkan Pemilihan Umum Legislatif 2009, Provinsi Aceh mengirimkan 13 anggota DPR, dengan perincian: Partai Demokrat tujuh orang, PKS dan Partai Golkar masing-masing dua orang, dan PAN serta PPP masing-masing satu orang. Selain itu, empat anggota DPD yang berasal dari Aceh adalah Tgk. Abdurrahman BTM., H.T. Bachrum Manyak, Dr. Ahmad F. Hamid, M.S., dan Ir. H.T. A. Khalid, M.M.
Pada tingkat provinsi, DPRA dengan 69 kursi tersedia dikuasai oleh Partai Aceh (33 kursi).
Partai | Kursi | % |
Partai Aceh | 33 | 47,8 |
Partai Demokrat | 10 | 14,5 |
Partai Golkar | 8 | 11,6 |
PAN | 5 | 7,3 |
PKS | 4 | 5,8 |
PPP | 3 | 4,4 |
Partai Daulat Aceh | 1 | 1,5 |
PDI-P | 1 | 1,5 |
PKPI | 1 | 1,5 |
PBB | 1 | 1,5 |
PKB | 1 | 1,5 |
Partai Patriot | 1 | 1,5 |
Total | 69 | 100,0 |
Sistem Pemerintahan Lokal Aceh
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sistem Pemerintahan Lokal Aceh
Sistem pemerintahan lokal Aceh terdiri dari gampông, mukim, nanggroë, sagoë dan keurajeun.
Sumber daya alam
Perekonomian
Pra-tsunami 2004
Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Aceh, menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budidaya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2004). Produksi perikanan tersebut merata, baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka.
Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen (87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor perikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian utama. Namun demikian, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan perahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala besar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Selatan.
Menurut Nurasa et al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing (hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin (purse seine), pukat darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain-lain.
Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektar tambak, sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodal kecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat pendidikan dan latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dan sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan. Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun.
Pasca-tsunami 2004
Kerusakan akibat tsunami di Banda Aceh
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan 9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana tsunami mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 milyar. Sebagian besar kerugian berasal dari kerusakan tambak.
Kerusakan tambak budidaya tersebar merata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu parah dampak tsunaminya (misalnya di Aceh Selatan), tambak-tambak yang tergenang tidaklah mudah diperbaiki dan digunakan kembali. Total kerugian mencapai Rp 466 milyar, sekitar 50 persen dari total kerugian sektor perikanan. Kerugian ekonomi paling besar berasal dari hilangnya pendapatan dari sektor perikanan (tangkap dan budidaya). Hilangnya sejumlah besar nelayan, hilang atau rusaknya sarana dan prasarana perikanan termasuk alat tangkap dan perahu serta kerusakan tambak menjadikan angka kerugian sedemikian besarnya.
Kapal PLTD Apung yang dibawa oleh tsunami sampai ke darat
Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen. Proses pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di subsektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10 tahun), karena banyaknya nelayan yang hilang atau meninggal selain rusaknya sejumlah besar perahu atau alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian yang mungkin terjadi hingga sektor ini pulih total dan kembali ke kondisi pra-tsunami diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.
Perbankan
Aceh terdapat dua kantor Bank Indonesia, bank sentral Republik Indonesia, yang dibuka di Banda Aceh (kelas III) dan Lhokseumawe (kelas IV). Tugas Bank Indonesia yang terdiri dari bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan. Di daerah-daerah tugas Bank Indonesia lebih dominan di bidang sistem pembayaran dan perbankan.
Di bidang sistem pembayaran menyelenggarakan sistem kliring dan BI-RTGS dan di bidang perbankan mengawasi dan membina bank-bank agar beroperasi dengan sehat dan menguntungkan.
Industri
Aceh memiliki sejumlah industri besar di antaranya
- PT Arun: Kilang Pencairan Gas Alam
- PT PIM: Pabrik Pupuk Iskandar Muda
- PT AAF: Pabrik Pupuk Asean
- PT KKA: Pabrik Kertas
- PT SAI-Lafarge Semen Andalas
- ExxonMobil: Kilang Gas Alam
Pertambangan
Emas di Woyla, Seunagan, Aceh Barat; Pisang Mas di Beutong, Payakolak, Takengon Aceh Tengah Batubara di Kaway XI, di Semayan di Aceh Barat, Batugamping di Tanah Greuteu, Aceh Besar; di Tapaktuan
Pariwisata
Seni dan Budaya
Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:
Sastra
- Bustanussalatin
- Hikayat Prang Sabi
- Hikayat Malem Diwa
- Legenda Amat Rhah manyang
- Legenda Putroe Neng
- Legenda Magasang dan Magaseueng
Senjata tradisional
Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun pedang).
Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti siwah, geuliwang dan peudeueng.
Rumah Tradisional
Rumah tradisional Aceh di Museum Aceh
Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).
Tarian
Provinsi Aceh yang memiliki setidaknya 10 suku bangsa, memiliki kekayaan tari-tarian yang sangat banyak dan juga sangat mengagumkan. Beberapa tarian yang terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari Aceh, seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman.
Tarian Suku Aceh
| Tarian Suku Gayo
Tarian Suku Lainnya
|
|
-
Tari Seudati di Sama Langa tahun 1907
-
Tari Saman dari Gayo Lues
-
Tari Guel, khas Suku Gayo
-
Makanan Khas
Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai itik, kari kambing yang lezat, Gulai Pliek U dan meuseukat yang langka. Di samping itu emping melinjo asal kabupaten Pidie yang terkenal gurih, dodol Sabang yang dibuat dengan aneka rasa, ketan durian (boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi Aceh.
Pahlawan
CutNyakDien ketika ditangkap Belanda
Bangsa Aceh merupakan bangsa yang gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kegigihan perang bangsa Aceh, dapat dilihat dan dibuktikan oleh sejumlah pahlawan (baik pria maupun wanita), serta bukti-bukti lainnya (empat jenderal Belanda tewas dalam perang Aceh, serta kuburan Kerkhoff yang pernah mencatat rekor sebagai kuburan Belanda terluas di luar Negeri Belanda).
Pahlawan Perempuan
Pahlawan Pria
Tokoh asal Aceh
- Lihat pula Suku Aceh untuk tokoh-tokoh yang bukan berasal dari provinsi Aceh namun berketurunan Aceh.
Referensi